Agar Pernikahan Membawa Berkah

Alangkah indahnya ketika Allah Ta'ala memanggil dan memerintahkan kita bersama-sama istri-suami dan anak-anak untuk masuk ke surga; sebagaimana dikabarkan Allah dengan firman-Nya: Masuklah kamu ke dalam surga , kamu dan istri-istri kamu digembirakan."(QS: Az-Zukhruf:70).

Di saat seseorang melaksanakan aqad pernikahan, maka ia akan mendapatkan banyak ucapan doa keberkahan sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW, " Semoga Allah memberkahi mu, dan menetapkan keberkahan atasmu, dan mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan."

Doa ini penuh dengan makna yang mendalam, bahwa pernikahan seharusnya akan mendatangkan banyak keberkahan bagi pelakunya. Namun kenyataanya, kita mendapati banyak fenomena yang menunjukan tidak adanya keberkahan hidup berumah tangga setelah pernikahan. Wujud ketidakberdakahan dalam pernikahan itu bisa dilihat dari berbagai segi, baik yang bersifat materil ataupun non material.

Munculnya berbagai konflik dalam keluarga tidak jarang berawal dari permasalahan ekonomi. Boleh jadi ekonomi keluarga yang selalu dirasakan kurang kemudian menyebabkan menurunnya semangat beramal atau beribadah.

Sebaliknya mungkin juga secara materi sesungguhnya sangat mencukupi, akan tetapi melimpahnya harta dan kemewahan tidak membawa kebahagian dalam pernikahannya.

Seringkali kita juga menemui kenyataan bahwa seseorang tidak pernah berkembang kapasitasnya walaupun sudah menikah. Padahal seharusnya pada orang yang sudah menikah kepribadiannya semakin sempurna ; dari sisi wawasan dan pemahaman makin luas dan mendalam, dari segi fisik makin sehat dan kuat, secara emosi makin matang dan dewasa, trampil dalam berusaha , bersungguh-sungguh dalam bekerja, dan teratur dalam aktifitas kehidupannya sehingga dirasakan manfaat keberadaanya bagi keluarga dan masyarakat di sekitarnya.

Realitas lain juga menunjukan adanya ketidak harmonisan dalam kehidupan keluarga, sering muncul konflik suami istri yang berujung perceraian. Juga muncul anak-anak yang terlantar tanpa arahan sehingga terperangkap dalam pergaulan bebas dan narkoba. Semua itu menunjukan tidak adanya keberkahan dalam kehidupan berumah tangga.

Memperhatikan fenomena kegagalan dalam menempuh kehidupan berumah tangga sebagaimana tersebut di atas, sepatunya kita melakukan introspeksi (muhasabah) terhadap diri kita , apakah kita masih konsisten dalamemegang teguh rambu-rambu berikut agar tetap mendapatkan keberkahan dalam meniti kehidupan berumah tangga ?

1. Meluruskan Motifasi
Motifasi menikah bukanlah semata untuk memuaskan kebutuhan biologis atau fisik. Menikah merupakan salah satu tanda kebesaran Allah SWT sebagaimana diungkap dalam Al-Quran (QS: Ar Rum:21), sehingga bernilai sakral dan signifikan. Menikah juga merupakan perintah-Nya (QS: An-Nur:32) yang berarti suatu aktifitas yang bernilai ibadah dan merupakan sunnah Rasul dalam kehidupan sebagaimana ditegaskan dalam salah satu hadits: "Barang siapa yang dimudahkan baginya untuk menikah , lalu ia tidak menikah maka tidaklah ia termasuk golonganku" (HR: At-Thabrani dan Al-Baihaqi). Oleh karena menikah merupakan sunah Rasul , maka selayaknya proses menuju pernikahan harus mencontoh Rasul. Misalnya saat hendak menentukan pasangan hidup hendaknya lebih mengutamakan kriteria Agam dan akhlak sebelum hal-hal lainnya. seperti kecantikan atau ketampanan, harta dan keturunan.

Kemudian dalam kehidupan berumah tangga pasca pernikahan hendaknya berupaya membiasakan diri dengan adab dan akhlak seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW.

Menikah merupakan upaya  menjaga kehormatan dan kesucian diri, artinya seorang yang telah menikah semestinya lebih terjaga dari perangkap zina dan mampu mengendalikan syahwatnya. Orang yang seperti ini , Allah SWT menjanjikan pertolongan. "Tiga golongan yang wajib aku (Allah) menolongnya, salah satunya adalah orang yang menikah karena ingin menjaga kesucian dirinya." (HR: Tarmidzi).

Menikah juga merupakan tangga kedua setelah pembentukan pribadi muslim dalam tahapan amal dakwah, artinya menjadikan keluarga sebagai ladang beramal dalam rangka membentuk keluarga muslim teladan yang diwarnai akhlak Islam dalam segala aktifitas dan interaksi seluruh anggota keluarga, sehingga mampu menjadi rahmatan Lil 'alamin bagi masyarakat sekitarnya. Dengan adanya keluarga-keluarga muslim pembawa Rahmat diharapkan dapat terwujud komunitas dan lingkungan masyarakat yang sejahtera.


2. Saling Terbuka
Secara fisik suami istri telah dihalalkan oleh Allah SWT untuk saling terbuka saat berjima' , padahal sebelum menikah hal itu adalah suatu yang diharamkan. Maka hakikatnya keterbukaan itupun harus diwujudkan dalam interaksi kejiwaan (syu'ur) pemikiran (fikrah), dan sikap (mauqif) serta tingkah laku (suluk) , sehingga masing-masing dapat secara utuh mengenal hakikat kepribadian suami istrinya dan dapat memupuk sikap saling percaya (tsiqah) di antara keduanya.

Hal itu dapat dicapai bila suami istri saling terbuka dalam segala hal menyangkut perasaan dan keinginan , ide dan pendapat , serta sifat dan kepribadian. Jangan sampai terjadi seorang suami-istri memendam perasaan tidak enak terhadap pasangannya karena prasangka buruk, atau karena kelemahan kesalahan yang ada pada suami-istri. Jika terjadi hal yang demikian hendaknya suami-istri segera berintrospeksi diri (muhasabah) dan mengklarifikasi penyebab masalah atas dasar cinta dan kasih sayang , selanjutnya mencari solusi bersama untuk penyelesaiannya.

Namun apabila perasaan tidak enak itu dibiarkan maka dapat menyebabkan interaksi suami-istri menjadi tidak sehat dan potensi menjadi sumber konflik berkepanjangan.


3. Bersikap Toleran
Dua insan yang berbeda latar belakang sosial, budaya, pendidikan, dan pengalaman hidup bersatu dalam pernikahan, tentunya akan menimbulkan terjadinya perbedaan-perbedaan dalam cara berfikir, memandang suatu permasalahan , cara bersikap-bertindak, juga selera (makanan, pakaian, dan sebagainya).

potensi perbedaan tersebut apabila tidak disikapi dengan sikap toleran (tasamuh) menjadi konflik perdebatan. Oleh karena itu masing-masing suami-istri harus mengenali dan menyadari kelemahan dan kelebihan pasangannya, kemudian berusaha untuk memperbaiki kelemahan yang ada dan memupuk kelebihannya. Layaknya sebagai pakaian (seperti yang Allah sebutkan dalam QS. Al-Baqarah: 187) maka suami-istri harus mampu mempercantik penampilan , artinya berusaha memupuk kebaikan yang ada (capacity building); dan menutup aurat artinya berupaya meminimalisir kekurangan yang ada.

Prinsip "hunna libasullakum wa antum libasullahun" ( QS: 2:187) antara suami dan istri harus selalu dipegang, karena pada hakikatnya suami-istri sudah menjadi satu kesatuan yang tidak boleh dipandang secara terpisah.

Kebaikan apapun Yang ada pada suami merupakan kebaikan bagi istri, begitu sebaliknya; dan kekurangan kelemahan apapun yang ada pada suami merupakan kekurangan-kelemahan bagi istri, begitu sebaliknya; sehingga muncul tanggung jawab bersama untuk memupuk kebaikan yang ada dan memperbaiki kelemahan yang ada.

Sikap toleran juga menuntut adanya sikap memaafkan , yang meliputi tiga tingkatan yaitu, al-afwu , memaafkan orang jika memang diminta, kedua as-shafhu, memaafkan orang lain walaupun tidak diminta , ketiga al-maghfirah, memintakan ampun kepada Allah untuk orang lain.

Dalam kehidupan rumah tangga , sering kali sikap ini belum menjadi kebiasaan yang melekat , sehingga kesalahan-kesalahan kecil dari pasangan suami-istri kadang kala menjadi awal konflik yang berlarut-larut . Tentu saja " memaafkan" bukan berarti "membiarkan " kesalahan terus terjadi , tetapi memaafkan berarti berusaha untuk memberikan perbaikan dan peringatan.


4. Komunikasi
Tersumbatnya saluran komunikasi suami-istri atau orangtua-anak dalam kehidupan rumah tangga akan menjadi awal kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis. Komunikasi sangat penting , disamping akan meningkatkan jalinan cinta kasih juga menghindari terjadinya akan kesalahpahaman.

Kesibukan masing-masing jangan sampai membuat komunikasi suami-istri atau orang tua-anak dalam kehidupan rumah tangga menjadi terputus. Banyak kesempatan yang bisa dimanfaatkan , sehingga waktu pertemuan yang sedikit bisa memberikan kesan yang baik dan mendalam yaitu dengan cara memberikan perhatian (empati) kesediaan untuk mendengar , dan memberikan respon jawaban atau jawaban alternatif solusi. Misalnya saat bersama setelah menunaikan shalat berjama'ah , saat bersama belajar, saat bersama makan malam, saat bersama liburan, (rihlah) , dan saat-saat lain dalam interaksi keseharian , baik secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan sarana telekomunikasi yang ada.

Al-Qur'an dengan indah menggambarkan bagaimana proses komunikasi itu berlangsung dalam keluarga Ibrahim AS sebagaimana dikisahkan dalam surah As-Shaaffat, ayat 102 yaitu: Maka tatkala anak itu sampai ( pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim , Ibrahim berkata; Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu, Ia menjawab; Hai bapakku kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu , insyaAllah kamu akan mendapatimu termasuk orang-orang yang sabar".

Ibrah yang dapat diambil dalam kisah tersebut adalah adanya komunikasi yang timbul balik antara orang tua dan anak , Ibrahim mengutarakan dengan bahasa dialog yaitu meminta pendapat pada Ismail bukan menetapkan keputusan, adanya keyakinan kuat atas kekuasaan Allah , adanya sikap tunduk dan patuh atas perintah Allah , dan adanya sikap pasrah dan tawakal kepada Allah, sehingga perintah yang berat dan tidak logis tersebut dapat terlaksana dengan kehendak Allah yang menggantikan Ismail dengan seekor Gibas yang sehat dan besar.


5. Sabar dan Syukur
Allah SWT mengingatkan kita selama al-quran surah At-taghbun ayat:14 , dijelaskan " Hai orang-orang yang beriman , sesungguhnya diantara istri-istri mu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagi mu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka. Dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang ."

Peringatan Allah tersebut nyata dalam kehidupan rumah tangga dimana sikap dan tindak tanduk suami-istri dan anak-anak kadangkala menunjukkan sikap seperti seorang musuh, misalnya dalam bentuk menghalang halangi langkah dakwah walaupun tidak secara langsung, tuntutan yang belanja yang nilainya diluar kemampuan , menuntut perhatian dan waktu yang lebih, prasangka buruk terhadap suami-istri , tidak merasa puas dengan pelayanan atau nafkah yang diberikan suami-istri , anak-anak  yang aktif dan senang membuat keributan , dan sebagainya. Jika hal-hal tersebut tidak dihadapi dengan kesabaran dan keteguhan hati, bukan tidak mungkin akan membawa pada jurang kehancuran dalam rumah tangga.


6. Santun dan Bijak
Merawat cinta kasih dalam keluarga ibaratnya seperti merawat tanaman , maka pernikahan dan cinta kasih juga harus dirawat agar tumbuh subur dan indah, diantaranya dengan mu'asyarah bil ma'ruf. Rasulullah menjelaskan "Sebaik-baik diantara kamu adalah orang yang g paling baik terhadap istrinya , dan aku (Rasulullah) adalah orang yang paling baik terhadap istriku" (HR: Tabrani dan Tirmidzi).

Sikap yang baik dan santun dari seluruh anggota keluarga dalam interaksi kehidupan rumah tangga akan menciptakan suasana yang kenyamanan dan indah.  Suasana yang demikian sangat penting untuk perkembangan kejiwaan (maknawiyah) anak-anak dan pengondisian suasana untuk betah di rumah .

Ungkapan yang menyatakan "Baiti Jannati" ( rumahku surgaku )bukan semata diwujudkan dengan lengkapnya fasilitas dan luasnya rumah tinggal , akan tetapi lebih disebabkan oleh suasana interaktif antara suami-istri, orang tua-anak yang penuh santun dan bijaksana. Sehingga tercipta kondisi yang penuh keakraban , kedamaian dan cinta kasih.


7. Kuatnya Hubungan dengan Allah
Hubungan yang kuat dengan Allah dapat menghasilkan keteguhan hati (kemampuan Ruhiyah) sebagaimana Allah tegaskan dalam surah Ar-Ra'du ayat 28, " Ketahuilah dengan mengingat Allah, hati akan menjadi tenang".

Keberhasilan dalam meniti kehidupan rumah tangga sangat dipengaruhi oleh keteguhan hati-ketenangan jiwa , yang bergantung hanya kepada Allah saja. Tanpa adanya kedekatan hubungan dengan Allah , mustahil seseorang dapat mewujudkan tuntutan-tuntutan besar dalam kehidupan rumah tangga.  Rasulallah sendiri memanjatkan doa agar dapat mendapatkan keteguhan hati "yaa muqallibal quluub tsabbit qalbiy 'alaa diinika wa'ala thoo'atika(wahai yang membolak-balikan hati , teguhkanlah hatiku untuk tetap konsisten dalam dien-Mu dan dalam mena'ati-Mu).

Comments

Popular Posts